Selasa, 20 September 2011

refleksi ironi atas munculnya kembali RUU Lambang Palang Merah dalam Prolegnas 2010-2014)

refleksi ironi atas munculnya kembali RUU Lambang Palang Merah dalam Prolegnas 2010-2014)

“ Hukum memang perlu ditegakkan tapi rasa keadilan masyarakat juga tidak dapat dinafikan “, begitu kata Presiden SBY saat menjelaskan kasus Bibit-Chandra setelah rekomendasi TPF diterima dan disikapi setelah satu pekan ditimbang masak-masak.  Pidato tersebut mensiratkan bahwa dinamika yang terjadi dimasyarakat memberi andil besar terhadap supremasi hukum yang terjadi harus berjalan dengan penegakan hukum yang berkeadilan (law enforcement by justice). Keadilan bersumber dari pemenuhan jawaban atas pertanyaan nurani masyarakat, sudahkah selaras dengan azas kesetaraan (equality) dan complemented dengan fakta yang terjadi. Begitu pula Kasus Prita Mulyasari yang menyakiti keadilan masyarakat. Sebuah Email yang tersebar atas ketidakpuasan layanan RS Omni Internasional, Palu Godam Hukum memvonis Prita harus membayar 250 juta. Kontan masyarakat menggalang bantuan dengan koin sebagai bentuk perlawanan untuk Hukum yang tidak bernurani.
Bagi para penyokong RUU Lambang Palang Merah, mereka berdalih atas dasar Hukum formal. Berdasar Ratifikasi Konvensi Jenewa pada protokol III, ditambah Produk hukum ratifikasi lambang Palang Merah pada tahun 1960, dengan serta merta klaim bahwa satu negara satu lambang menjadi ikon untuk meng-ilegalkan (baca: mengharamkan) lambang Bulan Sabit Merah yang sudah eksis di Indonesia. Walau masih dapat diperdebatkan argumentasi legal formal diatas namun yang menjadi kunci adalah bahwa RUU Lambang Palang Merah mengusik rasa keadilan masyarakat yang merasakan terlibat atas eksistensi organisasi-organisasi yang menggunakan lambang Bulan Sabit Merah di Indonesia. Dua stakeholder dalam kelompok kepentingan atas lembaga yang menggunakan bendera Bulan Sabit Merah, pertama adalah Kelompok Recipient dan yang kedua adalah Kelompok Actor.
Kelompok Recipient merupakan penerima kemanfaatan atas eksistensi organisasi-organisasi berlambang Bulan Sabit Merah. Sebutlah Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang ‘baru’ berdiri pada tahun 2002 pasca reformasi sudah melanglang buana dalam misi kemanusiaan diberbagai negara seperti Irak, Libanon, Pakistan dan Palestina. Yang menjadi kunci adalah bila kata Indonesia disematkan dalam nama organisasi Bulan Sabit Merah menjadi Bulan Sabit Merah Indonesia hal ini berimplikasi membawa nama harum bangsa dan negara Indonesia plus bendera merah putih disandingkan pada dada kiri dan dan dada kanan setiap Relawan BSMI, ini meningkatkan pamor Indonesia di level internasional. Sebagai perwujudan civil society dimana BSMI merupakan NGO (Non Government Organization) atau yang akrab disebut LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) bila berlabuh di negara-negara konflik ataupun bencana, BSMI lepas dari sekat-sekat birokrasi layaknya Pemerintah yang lebih ‘lamban’ dalam sebuah action. Contoh riil, Jika Relawan BSMI berangkat ke Luar Negeri tidak terhambat dengan masalah ‘pendanaan’ karena mulai dari pemberangkatan hingga selama aksi dilapangan, diumumkan penggalangan donasi secara luas kepada masyarakat. Apa kata dunia bila ternyata terjadi pembredelan BSMI hanya karena lambangnya dianggap tidak sesuai peraturan ‘negara’.
Recipient didalam negeri dimana masyarakat luas mengenal BSMI dalam tiap aksi bencana dalam negeri maupun aksi sosial kesehatan tidak dapat dibantahkan lagi. Simbol-simbol Bulan Sabit Merah menancap permanen seperti RSU Bulan Sabit Merah Indonesia di Banda Aceh dan Pusat Pelayanan Kesehatan dan Rehabilitasi di Klaten-Yogyakarta pasca bencana gempa bumi/tsunami. Satu hal yang penting bahwa layanan BSMI bersifat universal, tidak membedakan suku, agama, kelompok dan ras dalam misi kemanusiaannya. Tidak ada dalam kamus bahwa Relawan BSMI ‘mesti’ berjilbab, apalagi tuduhan bahwa BSMI terkait dengan Parpol tertentu. Prinsip Kenetralan dan Kesemestaan menjadi batu pijakan BSMI. Bagi penerima layanan BSMI yang mengenal BSMI dengan baik bahkan masyarakat luas sekali pun dengan logika sederhana dapat berkata “kenapa mesti dilarang”. Sebuah lembaga dengan nama Bulan Sabit Merah Indonesia yang sudah berkiprah dan memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat menghadapi kenyataan bahwa BSMI dilarang karena ‘menggunakan’ lambang Bulan Sabit Merah. Ini sangat mengusik keadilan masyarakat. Akankah peraturan perundangan diketuk untuk melarang penggunaaan lambang Bulan Sabit Merah tetap dibiarkan, ini membuat publik menyayangkan hal tersebut.

Para pegiat kemanusiaan khususnya relawan-relawan yang menggunakan simbol-simbol Bulan Sabit Merah menganggap bahwa pelarangan penggunaaan lambang Bulan Sabit Merah tidak sesuai dengan azas keadilan, dimana ekspresi kemanusiaan dikekang ‘hanya’ karena sebuah RUU. Menjadi dilema ketika Pemerintah RI telah mengakomodasi lambang Palang Merah namun tingkatan formalitas hukumnya baru sampai level Keputusan Presiden yaitu Keppres No 25 tahun 1950 dan Keppres No 246 tahun 1963. Dan ‘ketiwasan’ Indonesia mendaftarkan sebagai anggota Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) pada Tahun 1950.
Yang menjadi fokus ketika Indonesia telah menetapkan Palang Merah sebagai Tanda Pengenal ‘resmi’ Negara, dan menjamurnya lembaga kemanusiaan dengan lambang Bulan Sabit Merah setelah era 90-an yang sejalan dengan hidupnya lembaga kemanusiaan berasaskan keagamaan serta pasca reformasi, maka stuasi yang terjadi adalah keadilan masyarakat yang berhadapan dengan formalitas hukum.  Latar belakang pengajuan awal RUU LPM menghendaki bahwa Tentara/militer memerlukan payung hukum untuk melindungi dari serangan musuh pada saat perang atau dizona konflik. Pertanyaannya adalah apakah dibutuhkah produk hukum jika Tentara/militer Indonesia melaksanakan misi perdamaian jika di luar negeri atau dibawah payung PBB, yang justeru tentara kita menggunakan atribut PBB seperti huruf kapital ‘ UN ‘. Atau jika diwilayah konflik agama di Indonesia, apakah memang diperlukan logo ‘Palang’ sementara masyarakat Indonesia sudah mengenal seragam militer/tentara dengan lorengnya berwarna hijau atau tentara dengan senapan laras panjangnya dengan baret di kepalanya. Mengusik tentara berarti cari mati, sudah cukupkah tentara dengan atributnya untuk melindungi diri dari ‘musuh’ ataukah membutuhkan lambang Palang Merah.
Fakta pada waktu kerusuhan Ambon, Tual, Galela dan beberapa daerah Kerusuhan di tahun 1999  dan 2001 justeru relawan yang berlambang Bulan Sabit Merah-lah yang hadir dalam misi kemanusiaan disana. Atau misi kemanusiaan tentara kita di daerah konflik di Timur Indonesia seperti Papua perlukah lambang Palang Merah disematkan untuk ‘melindungi diri’ dari kelompok bersenjata yang anti Indonesia disana. Mari kita ambil kesimpulan masing-masing.
Kelompok pendukung RUU LPM menafikan fakta-fakta diatas, lalu memaksakan argumen legal formal bahwa satu-satunya lambang yang sudah diakui sebagai Perhimpunan Nasional adalah PMI sehingga lambang Bulan Sabit Merah yang juga lambang identitas dalam Konvensi Jenewa dianggap ilegal. Masyarakat Indonesia sebagian besar belum mengetahui bahwa Bulan Sabit Merah merupakan lambang internasional kemanusiaan juga, yang timbul polemik adalah mengapa bila ada Palang Merah  lalu mendelegitimasikan lambang Bulan Sabit Merah di Indonesia sementara kiprah keduanya tidak dapat dielakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar