refleksi ironi atas munculnya kembali RUU Lambang Palang Merah dalam Prolegnas 2010-2014)
“ Hukum memang perlu ditegakkan tapi rasa keadilan masyarakat juga
tidak dapat dinafikan “, begitu kata Presiden SBY saat menjelaskan kasus
Bibit-Chandra setelah rekomendasi TPF diterima dan disikapi setelah
satu pekan ditimbang masak-masak. Pidato tersebut mensiratkan bahwa
dinamika yang terjadi dimasyarakat memberi andil besar terhadap
supremasi hukum yang terjadi harus berjalan dengan penegakan hukum yang
berkeadilan (law enforcement by justice). Keadilan bersumber dari pemenuhan jawaban atas pertanyaan nurani masyarakat, sudahkah selaras dengan azas kesetaraan (equality) dan complemented dengan
fakta yang terjadi. Begitu pula Kasus Prita Mulyasari yang menyakiti
keadilan masyarakat. Sebuah Email yang tersebar atas ketidakpuasan
layanan RS Omni Internasional, Palu Godam Hukum memvonis Prita harus
membayar 250 juta. Kontan masyarakat menggalang bantuan dengan koin
sebagai bentuk perlawanan untuk Hukum yang tidak bernurani.
Bagi para penyokong RUU Lambang Palang Merah, mereka berdalih atas
dasar Hukum formal. Berdasar Ratifikasi Konvensi Jenewa pada protokol
III, ditambah Produk hukum ratifikasi lambang Palang Merah pada tahun
1960, dengan serta merta klaim bahwa satu negara satu lambang menjadi
ikon untuk meng-ilegalkan (baca: mengharamkan) lambang Bulan Sabit Merah yang sudah eksis di Indonesia. Walau masih dapat diperdebatkan argumentasi legal formal
diatas namun yang menjadi kunci adalah bahwa RUU Lambang Palang Merah
mengusik rasa keadilan masyarakat yang merasakan terlibat atas
eksistensi organisasi-organisasi yang menggunakan lambang Bulan Sabit
Merah di Indonesia. Dua stakeholder dalam kelompok kepentingan atas lembaga yang menggunakan bendera Bulan Sabit Merah, pertama adalah Kelompok Recipient dan yang kedua adalah Kelompok Actor.
Kelompok Recipient merupakan penerima kemanfaatan atas
eksistensi organisasi-organisasi berlambang Bulan Sabit Merah. Sebutlah
Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang ‘baru’ berdiri pada tahun 2002
pasca reformasi sudah melanglang buana dalam misi kemanusiaan diberbagai
negara seperti Irak, Libanon, Pakistan dan Palestina. Yang menjadi
kunci adalah bila kata Indonesia disematkan dalam nama organisasi Bulan
Sabit Merah menjadi Bulan Sabit Merah Indonesia hal ini berimplikasi
membawa nama harum bangsa dan negara Indonesia plus bendera merah putih
disandingkan pada dada kiri dan dan dada kanan setiap Relawan BSMI, ini
meningkatkan pamor Indonesia di level internasional. Sebagai perwujudan civil society dimana BSMI merupakan NGO (Non Government Organization)
atau yang akrab disebut LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) bila berlabuh
di negara-negara konflik ataupun bencana, BSMI lepas dari sekat-sekat
birokrasi layaknya Pemerintah yang lebih ‘lamban’ dalam sebuah action.
Contoh riil, Jika Relawan BSMI berangkat ke Luar Negeri tidak terhambat
dengan masalah ‘pendanaan’ karena mulai dari pemberangkatan hingga
selama aksi dilapangan, diumumkan penggalangan donasi secara luas kepada
masyarakat. Apa kata dunia bila ternyata terjadi pembredelan BSMI hanya
karena lambangnya dianggap tidak sesuai peraturan ‘negara’.
Recipient didalam negeri dimana masyarakat luas mengenal
BSMI dalam tiap aksi bencana dalam negeri maupun aksi sosial kesehatan
tidak dapat dibantahkan lagi. Simbol-simbol Bulan Sabit Merah menancap
permanen seperti RSU Bulan Sabit Merah Indonesia di Banda Aceh dan Pusat
Pelayanan Kesehatan dan Rehabilitasi di Klaten-Yogyakarta pasca bencana
gempa bumi/tsunami. Satu hal yang penting bahwa layanan BSMI bersifat
universal, tidak membedakan suku, agama, kelompok dan ras dalam misi
kemanusiaannya. Tidak ada dalam kamus bahwa Relawan BSMI ‘mesti’
berjilbab, apalagi tuduhan bahwa BSMI terkait dengan Parpol tertentu.
Prinsip Kenetralan dan Kesemestaan menjadi batu pijakan BSMI. Bagi
penerima layanan BSMI yang mengenal BSMI dengan baik bahkan masyarakat
luas sekali pun dengan logika sederhana dapat berkata “kenapa mesti
dilarang”. Sebuah lembaga dengan nama Bulan Sabit Merah Indonesia yang
sudah berkiprah dan memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat
menghadapi kenyataan bahwa BSMI dilarang karena ‘menggunakan’ lambang
Bulan Sabit Merah. Ini sangat mengusik keadilan masyarakat. Akankah
peraturan perundangan diketuk untuk melarang penggunaaan lambang Bulan
Sabit Merah tetap dibiarkan, ini membuat publik menyayangkan hal
tersebut.
Para pegiat kemanusiaan khususnya relawan-relawan yang menggunakan
simbol-simbol Bulan Sabit Merah menganggap bahwa pelarangan penggunaaan
lambang Bulan Sabit Merah tidak sesuai dengan azas keadilan, dimana
ekspresi kemanusiaan dikekang ‘hanya’ karena sebuah RUU. Menjadi dilema
ketika Pemerintah RI telah mengakomodasi lambang Palang Merah namun
tingkatan formalitas hukumnya baru sampai level Keputusan Presiden yaitu
Keppres No 25 tahun 1950 dan Keppres No 246 tahun 1963. Dan ‘ketiwasan’
Indonesia mendaftarkan sebagai anggota Federasi Internasional
Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) pada Tahun 1950.
Yang menjadi fokus ketika Indonesia telah menetapkan Palang Merah
sebagai Tanda Pengenal ‘resmi’ Negara, dan menjamurnya lembaga
kemanusiaan dengan lambang Bulan Sabit Merah setelah era 90-an yang
sejalan dengan hidupnya lembaga kemanusiaan berasaskan keagamaan serta
pasca reformasi, maka stuasi yang terjadi adalah keadilan masyarakat
yang berhadapan dengan formalitas hukum. Latar belakang pengajuan awal
RUU LPM menghendaki bahwa Tentara/militer memerlukan payung hukum untuk
melindungi dari serangan musuh pada saat perang atau dizona konflik.
Pertanyaannya adalah apakah dibutuhkah produk hukum jika Tentara/militer
Indonesia melaksanakan misi perdamaian jika di luar negeri atau dibawah
payung PBB, yang justeru tentara kita menggunakan atribut PBB seperti
huruf kapital ‘ UN ‘. Atau jika diwilayah konflik agama di Indonesia,
apakah memang diperlukan logo ‘Palang’ sementara masyarakat Indonesia
sudah mengenal seragam militer/tentara dengan lorengnya berwarna hijau
atau tentara dengan senapan laras panjangnya dengan baret di kepalanya.
Mengusik tentara berarti cari mati, sudah cukupkah tentara dengan
atributnya untuk melindungi diri dari ‘musuh’ ataukah membutuhkan
lambang Palang Merah.
Fakta pada waktu kerusuhan Ambon, Tual, Galela dan beberapa daerah
Kerusuhan di tahun 1999 dan 2001 justeru relawan yang berlambang Bulan
Sabit Merah-lah yang hadir dalam misi kemanusiaan disana. Atau misi
kemanusiaan tentara kita di daerah konflik di Timur Indonesia seperti
Papua perlukah lambang Palang Merah disematkan untuk ‘melindungi diri’
dari kelompok bersenjata yang anti Indonesia disana. Mari kita ambil
kesimpulan masing-masing.
Kelompok pendukung RUU LPM menafikan fakta-fakta diatas, lalu
memaksakan argumen legal formal bahwa satu-satunya lambang yang sudah
diakui sebagai Perhimpunan Nasional adalah PMI sehingga lambang Bulan
Sabit Merah yang juga lambang identitas dalam Konvensi Jenewa dianggap
ilegal. Masyarakat Indonesia sebagian besar belum mengetahui bahwa Bulan
Sabit Merah merupakan lambang internasional kemanusiaan juga, yang
timbul polemik adalah mengapa bila ada Palang Merah lalu
mendelegitimasikan lambang Bulan Sabit Merah di Indonesia sementara
kiprah keduanya tidak dapat dielakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar